Pagi benar aku terbangun hari ini. Pukul 07.00 wib. Tak biasanya setelah semalaman menenguk segelas kopi dan beberapa kertas bertoreh rumus-rumus matematika. Hanya bermodal dua jam tidur, aku bersama teman, teman dengan satu lokasi tempat tidur, menuju salah satu cabang Bank di kampus. Tujuan, jelas yaitu mengoreh kembali rupiah yang semakin menipis.
Perjalanan ke kampus memakan waktu sekira 15 menit, melewati trotoar utama hingga trotoar kampus. beeberapa pengemis tak pernah surut kami temui. Tentunya dengan berbagai modus yang muncul. Ah, mungkin keterlaluan caraku memandang. Tapi memang benar, mereka layaknya pedagang yang punya stand sendiri. cukup menengegah tangan, recehan hingga kertas berfoto pahlawan di berikan.
Perempuan yang kuajak bergandeng ini, memang sungguh dermawan, setiap melewati pengemis dengan ringan tangan memberikan uang tanpa cuma-cuma. nilai rupiah yg cukup buatku untuk mengisi perut yang kerap kosong di siang hari.
Tapi lagi,aku tetap berbeda pendapat dengannya, beberapa pengemis pun kadang kuanggap tak layak duduk saja disitu... pemikiran yang kejam untuk ukuran orang miskin sepertiku... aku senang memberi, senang dengan berbagi, tapi entah mungkin karena keseringan melihat mereka rasa iba itu seakan lenyap. bahkan kadang kuanggap sebagai modus dari kemalasan. faktor X yang juga sering nginap dalam diriku.
ketidakadilan kadang tak berpihak, banyak beberapa orang yang mesti menanggung beban yang lebih berat di banding duduk diam saja disitu. berselimut teriknya matahari. Atau mungkin itu jawaban keputusasaan. Ya Allah, jika benar persepsi, hindarkanlah aku dari keputusasaan itu. Karena pemberian tanpa atas nama diriMu tak layak kumiliki..
Pemberian adalah sedekah, iya, sedekah. Apakah atas nama dirimu, atas nama ibah, atas nama kekayaan yang berlebih, atas nama keharusan, atau atas nama ketenaran. Tindakan yang hingga kini sulit kumengerti maknanya.
Perjalanan ke kampus memakan waktu sekira 15 menit, melewati trotoar utama hingga trotoar kampus. beeberapa pengemis tak pernah surut kami temui. Tentunya dengan berbagai modus yang muncul. Ah, mungkin keterlaluan caraku memandang. Tapi memang benar, mereka layaknya pedagang yang punya stand sendiri. cukup menengegah tangan, recehan hingga kertas berfoto pahlawan di berikan.
Perempuan yang kuajak bergandeng ini, memang sungguh dermawan, setiap melewati pengemis dengan ringan tangan memberikan uang tanpa cuma-cuma. nilai rupiah yg cukup buatku untuk mengisi perut yang kerap kosong di siang hari.
Tapi lagi,aku tetap berbeda pendapat dengannya, beberapa pengemis pun kadang kuanggap tak layak duduk saja disitu... pemikiran yang kejam untuk ukuran orang miskin sepertiku... aku senang memberi, senang dengan berbagi, tapi entah mungkin karena keseringan melihat mereka rasa iba itu seakan lenyap. bahkan kadang kuanggap sebagai modus dari kemalasan. faktor X yang juga sering nginap dalam diriku.
ketidakadilan kadang tak berpihak, banyak beberapa orang yang mesti menanggung beban yang lebih berat di banding duduk diam saja disitu. berselimut teriknya matahari. Atau mungkin itu jawaban keputusasaan. Ya Allah, jika benar persepsi, hindarkanlah aku dari keputusasaan itu. Karena pemberian tanpa atas nama diriMu tak layak kumiliki..
Pemberian adalah sedekah, iya, sedekah. Apakah atas nama dirimu, atas nama ibah, atas nama kekayaan yang berlebih, atas nama keharusan, atau atas nama ketenaran. Tindakan yang hingga kini sulit kumengerti maknanya.