Detik-detik hari mendebarkan itu akan dimulai,,,,
Jumat, 20 Januari 2012, terbaring lesu dikost. Pagi-pagi benar sms itu muncul tentang kesiapan anggotaku melaksanakan rapat pertanggungjawaban. Satu hal yang tak bisa kusanggupi, bangun dari kasur gabusku. Tetapi kembali lagi, ini kewajiban.
Termenung sebentar, kembali mengambil selimut. Menutup mata.
Satu jam kemudian, sekira pukul 09.00 wita. Sadar ini waktu yang tepat keluar dari kamar berukuran 3 x 3 m ini. Kuambil handuk berwarna biruku menuju kamar mandi. Guyuran air setindaknya menenangkan raga ini setelah berpuas menenggelamkan angan di dunia mimpi.
Kemeja kembang abu-abu, jaket berwarna putih, jins dan jilbab berwarna abu-abu menjadi kostum andalan hari ini. Berjalan kaki sekira 50 m menuju kampus. Hujan gerimis tak sekalipun membuatku hendak mengambil payung di dalam tas. Entah. Hingga di ujung perjalanan, ada sosok yang sempat kurindukan hadir di depan mata. Memandang tidak, tersenyum, tidak. Apalagi menyapa, tidak sama sekali. Berjalan dan pura-pura tak melihat.
Sesampai di gerbang, kabar tak mengenakkan hadir. Ada dosen. Terpaksa, agenda di pending, mendengar dosen berkicau hingga pukul 12.30. Berikutnya, bertemu kawan lama menuju sao panrita, berbincang tentang agenda juri besok dan lusa. Selesai.
Berbekal beberapa ribu rupiah menuju redaksi. Kantor sekaligus rumah kedua, Profesi. Sumpek dan kotor jawban pertama melihat suasana redaksiku. Langkah jelas, menuju dapur, cuci piring, dan bikin teh. Andalan yang melenceng dari tugasku sebenarnya.
Belum lagi, printer yang mulai bermasalah. Tangan kotor, waktu habis, plus tissue yang juga habis, dan hasilnya nihil. Tetap rusak. Solusinya, beli ketrig baru. Sejenak menonton televise menunggu hujan reda, lalu menuju kost menikmati kasur gabusku yang mulai robek.
Magrib terlewati tak terasa. Aku dan kasurku menikmati film seorang cucu dan nenek “ The way home”. Menyedihkan. Menangis dan kembali terpikirkan menuju redaksi. Melanjutkan tugas surat undangan yang belum kelar. Hingga pukul 23.00 tugasku tuntas. Pengiriman surat aku limpahkan pada sekretaris panitia kegiatan.
Kembali ke kost, tentu dengan tatapan aneh para tetangga. Tak peduli. Perut keroncong menjadi sasaran utama. Berjalan kaki mencari suapan perut tengah di malam hari. Alfamidi jawabannya. Susu kotak dua buah, satu bungkus biskuit dan satu lagi kerupuk. Dasar sialan, kasir market macet, terpaksa belanja dihitung manual, dan itu tentunya lama. Tetap cengir, sambil melihat jam yang sebentar lagi berdetak di pukul pagi hari.
Tidur pulas akhirnya dapat kunikmati, hingga pagi menjelang. Niat pertama menuju redaksi menjadi fokus. Setelan kostum kali ini baju putih bertuliskan profesi, jins biru muda, jaket putih dan jilbab biru. Kampus menjadi tempat persinggahan. Pukul 10.00 wita kusempatka memantau kondisi perlombaan jurusanku. Empat jempol kuberikan pada ketua panitia, kawan lamaku. Peserta yang membludak. Lalu, melanjutkan aktivitas memandu teknikal meeting madding.
Hujan gerimis, mobil biru berplat kuning menyapa kala itu. Aku duduk dan berkata “kiri” tepat di depan masjid babul muttaqien. Mesjid belakang redaksiku.
Terpenting, setelah hari ini. Tangis itu tak ada. Benci itu tak ada. Malam ini sidang istimewa digelar. Aku akan duduk seraya menjadi terdakwa atas tindakku selama ini. Berucap seolah benar, padahal hanya pembelaan atas kesalahanku. Gelisah akan hasil yang dicapai. Semoga tidak.
*** Ilustrasi saat pengadilan kursi panas terjadi